Fiqih Tentang Masalah Wanita
Darah Wanita
Bagi
kebanyakan wanita, haid dan nifas identik dengan tidak menjalankan
shalat atau puasa. Padahal banyak hal lain yang juga perlu diketahui
kaitannya dengan ibadah saat seorang wanita mendapatkan haid atau nifas.
Saudariku muslimah…
Permasalahan
darah yang keluar dari kemaluan wanita merupakan permasalahan yang
penting. Butuh untuk diterangkan karena berkaitan dengan pelaksanaan
ibadah kepada Allah subhanahu wa ta`ala. Kita lihat kenyataan yang ada
banyak wanita buta terhadap permasalahan yang justru lekat dengan
dirinya ini. Karena itu pada tampilan perdana dalam rubrik ini kami coba
menerangkan kepada pembaca seputar masalah ini secara ringkas, semoga
menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat, amin… ! Dan semoga menjadi
simpanan amal kebajikan bagi kami pada hari yang tidak bermanfaat lagi
harta dan anak, kecuali hamba yang menemui Allah dengan hati yang
selamat… !
Kami
angkat permasalahan ini dengan menerjemahkan secara ringkas kitab yang
disusun oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah
berjudul “Risalah fid Dima Ath Thabi`iyyah Lin Nisa’ disertai dengan
tambahan dari sumber yang lain .
Saudariku Muslimah…
Wanita
dengan kodratnya yang ditentukan dengan keadilan Illahi mengalami
masa-masa di mana ia mendapatkan darah keluar dari organnya yang khusus.
Darah tersebut bisa jadi menahan dia dari melaksanakan ibadah shalat
dan puasa, dan bisa pula ia tetap dibolehkan shalat dan puasa karena
darah tersebut tidak mengeluarkan dirinya dari hukum wanita yang suci.
Adapun
darah yang biasa keluar dari kemaluan wanita adalah darah haid,
istihadhah dan darah nifas. Untuk yang awal, kami akan menyinggung
masalah haid.
Haid
Secara
bahasa, haid adalah mengalirnya sesuatu. Adapun pengertiannya yang
syar`i, haid adalah darah yang keluar pada waktu-waktu tertentu dari
organ khusus wanita secara alami tanpa adanya sebab, bukan karena sakit,
luka atau keguguran atau selesai melahirkan. Haid ini keadaannya
berbeda-beda tergantung keadaan masing-masing wanita.
Ulama
berselisih pendapat dalam masalah kapan usia awal seorang wanita
mengalami haid. Berkata Ad Darimi rahimahullah setelah menyebutkan
perselisihan yang ada: “Semua pendapat ini menurutku salah! Karena yang
menjadi rujukan dalam semua itu adalah adanya darah. Maka pada keadaan
dan umur berapa saja didapatkan adanya darah yang keluar dari kemaluan
maka itu harus dianggap darah haid, wallahu a`lam”.
Pendapat
Ad Darimi yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah ini dibenarkan oleh Syaikh
Muhammad Shalih Al Utsaimin karena hukum haid dikaitkan oleh Allah dan
Rasul-Nya dengan adanya darah tersebut. Allah dan Rasul-Nya tidak
memberi batasan umur tertentu, maka wajib mengembalikan hal ini kepada
ada tidaknya darah, bukan batasan umur .
Dalam permasalahan lamanya masa haid juga ada perselisihan pendapat. Ibnul Mundzir rahimahullah berkata: “Berkata sekelompok ulama: “Tidak ada batasan minimal dan tidak pula batasan maksimal hari haid“. Pendapat ini yang dibenarkan Syaikh Ibnu Utsaimin dengan dalil-dalil sebagai berikut:
Pertama, Allah Ta`ala berfirman :
“Mereka
bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah suatu
kotoran. Oleh karena itu hendaklah kalian menjauhi para istri ketika
mereka sedang haid dan jangan kalian mendekati mereka hingga mereka suci
dari haid“. (Al Baqarah: 222)
Dalam
ayat di atas Allah menjadikan batasan larangan menyetubuhi istri yang
sedang haid adalah sampai selesainya haid (suci), bukan batasan hari.
Jadi hukum haid berlaku selama ada darah yang keluar berapapun lama
waktunya.
Kedua, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada Aisyah radliallahu anha yang haid saat ia sedang melakukan ibadah haji :
“Lakukanlah semua yang diperbuat oleh orang yang berhaji. Namun jangan engkau thawaf di Ka`bah hingga engkau suci” (HR. Muslim dalam Shahihnya juz 4, hal. 30, Syarah Nawawi)
Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wasallam menjadikan batasan larangan thawaf sampai
suci dari haid dan beliau tidak menetapkan batasan bilangan hari
tertentu, jadi patokannya ada tidaknya darah.
Ketiga,
batasan-batasan yang disebutkan oleh para fuqaha dalam masalah ini
tidak ada dalilnya dalam Al Qur’an dan tidak pula dalam Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam Padahal hal ini sangat perlu
untuk diterangkan bila memang harus ada pembatasan.
Keempat,
banyaknya perbedaan dan pertentangan pendapat dari mereka yang membuat
batasan. Ini menunjukkan bahwa dalam masalah ini tidak ada dalil yang
dapat dituju, namun ini sekedar ijtihad yang bisa benar dan bisa salah.
Dengan
demikian, setiap kali wanita melihat darah keluar dari kemaluan bukan
disebabkan luka atau semisalnya maka darah tersebut darah haid tanpa ada
batasan waktu dan umur. Kecuali bila darah itu keluar terus menerus
tidak pernah berhenti atau berhenti hanya sehari dua hari dalam sebulan
maka darah itu adalah darah istihadhah.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan: “Pada asalnya setiap darah yang keluar dari rahim adalah darah haid sampai tegak bukti bahwa darah itu adalah istihadhah“.
Haidnya Wanita Hamil
Apakah
wanita hamil mengalami haid? Secara umum apabila wanita hamil ia akan
terhenti dari haidnya. Namun ada di antara wanita hamil yang tetap
keluar darah dari kemaluannya pada masa-masa haidnya, dan ini dihukumi
sebagai darah haid karena tidak ada keterangan dari Al Quran dan As
Sunnah yang menyebutkan mustahilnya haid bagi wanita hamil. Ini adalah
pendapatnya Imam Malik , Syafi’i, dan yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah.
Kejadian Haid
Ada beberapa macam kejadian haid.
Pertama,
bertambah atau berkurang waktunya. Misalnya seorang wanita kebiasaan
haidnya enam hari. Suatu ketika darah yang keluar berlanjut sampai hari
ketujuh. Atau kebiasaan haidnya enam hari namun belum berjalan enam hari
haidnya berhenti.
Kedua,
terlambat atau maju dari jadwal yang ada. Misal kebiasaan haid seorang
wanita jatuh pada akhir bulan, namun suatu ketika ia melihat darah
haidnya keluar pada awal bulan, atau sebaliknya.
Terhadap
dua keadaan di atas terjadi perselisihan pendapat di kalangan ulama.
Namun yang benar, kapan saja seorang wanita melihat keluarnya darah maka
ia haid. Dan kapan ia tidak melihat darah berarti ia suci, sama saja
apakah waktu haidnya bertambah atau berkurang dari kebiasaannya, dan
sama saja apakah waktunya maju atau mundur. Ini merupakan pendapatnya
Imam Syafi`i dan yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah.
Ketiga,
warna kekuningan atau keruh yang keluar dari kemaluan. Apabila cairan
ini keluarnya pada masa haid atau bersambung dengan masa haid sebelum
suci maka dihukumi sebagai darah haid. Namun bila keluarnya di luar masa
haid, cairan tersebut bukan darah haid. Ummu `Athiyah radliallahu’anha
mengabarkan: “Kami dulunya tidak mempedulikan sedikitpun cairan yang keruh dan cairan kuning yang keluar setelah suci dari haid”.
(HR. Abu Daud. Diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya
namun tanpa lafaz “setelah suci”. Akan tetapi beliau memberi judul untuk
hadits ini dengan Bab “Cairan kuning dan keruh yang keluar pada selain
hari-hari haid”.)
Keempat,
keringnya darah di mana si wanita hanya melihat sesuatu yang basah
(ruthubah) seperti lendir dan semisalnya. Kalau ini terjadi pada masa
haid atau bersambung dengan waktu haid sebelum masa suci maka ia
terhitung haid. Bila di luar masa haid maka ia bukan darah haid,
sebagaimana keadaan cairan kuning atau keruh.
Hukum-Hukum Haid
Banyak
sekali hukum-hukum yang berkaitan dengan haid namun karena terbatasnya
ruang maka kami mencukupkan dengan apa yang kami sebutkan berikut ini:
Shalat dan Puasa
Wanita
haid diharamkan untuk mengerjakan shalat dan puasa, baik yang wajib
maupun yang sunnah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam mengabarkan
hal ini ketika ada wanita yang mempertanyakan keberadaan kaum wanita
yang dikatakan kurang agama dan akalnya, beliau bersabda :
“Bukankah jika wanita itu haid ia tidak melaksanakan shalat dan tidak puasa. Maka itulah yang dikatakan setengah agamanya“. (HR. Bukhari dalam shahihnya no. 304, 1951 dan Muslim no. 79)
Adapun
puasa wajib (Ramadlan) yang dia tinggalkan harus dia qadha (ganti) di
hari yang lain saat suci, sedangkan shalat tidak ada kewajiban untuk
mengqadhanya, berdasarkan hadits Aisyah radliallahu’anha, ketika ada
yang bertanya kepadanya: “Apakah salah seorang dari kami harus
mengqadla shalatnya bila telah suci dari haid ?” Aisyah pun bertanya
dengan nada mengingkari: “Apakah engkau wanita Haruriyah? Kami dulunya
haid di masa Nabi shallallahu alaihi wasallam. Beliau tidak
memerintahkan kami untuk mengganti shalat“. (HR. Bukhari no. 321)
Dalam riwayat Muslim Aisyah mengatakan: “Kami dulunya ditimpa haid maka kami hanya diperintah mengqadha puasa dan tidak diperintah untuk mengqadha shalat“. (HR. Muslim no. 69)
Thawaf di Baitullah
Wanita
haid diharamkan untuk thawaf di Ka`bah baik thawaf yang wajib maupun
yang sunnah. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada
Aisyah radliallahu anha yang ditimpa haid saat sedang melakukan amalan
haji :
“Lakukanlah semua yang diperbuat oleh orang yang berhaji. Namun jangan engkau thawaf di Ka`bah hingga engkau suci” (HR. Muslim dalam Shahihnya juz 4, hal. 30, Syarah Nawawi)
Adapun
amalan haji yang lain seperti sa`i, wuquf di Arafah, dan sebagainya
tidak ada keharaman untuk dikerjakan oleh wanita yang haid.
Jima’ (bersetubuh)
Diharamkan
bagi suami untuk menggauli istrinya yang sedang haid pada farji
(kemaluannya) dan diharamkan pula bagi istri untuk memberi kesempatan
dan memperkenankan suaminya untuk melakukan hal tersebut. Karena Allah
ta`ala berfirman:
“…maka
jauhilah (tidak boleh jima`) oleh kalian para istri ketika haid dan
janganlah kalian mendekati mereka (untuk melakukan jima`) hingga mereka
suci“. (Al Baqarah: 222)
Selain
jima`, dibolehkan bagi suami untuk melakukan apa saja terhadap istrinya
yang sedang haid karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda:
“Perbuatlah segala sesuatu kecuali nikah (yakni jima`)“.
(HR. Abu Daud no. 2165, dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al
Albani rahimahullah dalam kitab beliau “Shahih Sunan Abi Daud” no.
hadits 1897)
Talak
Ketika istri sedang haid, haram bagi suaminya untuk mentalaknya berdasarkan firman Allah ta`ala:
“Wahai
Nabi, apabila kalian hendak menceraikan para istri kalian maka
ceraikanlah mereka pada saat mereka dapat (menghadapi) iddahnya…”. ( Ath Thalaq: 1)
Ibnu
Abbas radliallahu’anhuma menafsirkan: “Tidak boleh seseorang
menceraikan istrinya dalam keadaan haid dan tidak boleh pula ketika si
istri dalam keadaan suci namun telah disetubuhi dalam masa suci
tersebut. Akan tetapi bila ia tetap ingin menceraikan istrinya maka
hendaklah ia membiarkannya (menahannya) sampai datang masa haid
berikutnya lalu disusul masa suci, setelah itu ia bisa menceraikannya”.
(Tafsirul Qur’anil Adhim 4/485)
Jadi
bila talak hendak dijatuhkan maka harus pada masa suci si wanita (tidak
dalam keadaan haid) dan belum disetubuhi ketika suci tersebut. Demikian
hal ini diriwayatkan dari Ibnu Umar, Atha’, Mujahid, Al Hasan, Ibnu
Sirin, Qatadah, Maimun bin Mihran dan Muqatil bin Hayyan. (Lihat
Tafsirul Qur’anil Adhim 4/485)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyebutkan: “Ada
tiga keadaan yang dikecualikan dalam pengharaman talak ketika istri
sedang haid (yakni boleh mentalaknya walaupun dalam keadaan haid):
Pertama,
apabila talak dijatuhkan sebelum ia berduaan dengan si istri atau
sebelum ia sempat bersetubuh dengan si istri setelah atau selama
nikahnya. Dalam keadaan demikian tidak ada `iddah bagi si wanita dan
tidak haram menceraikannya dalam masa haidnya.
Kedua,
apabila haid terjadi di waktu istri sedang hamil karena lamanya `iddah
wanita hamil yang dicerai suaminya adalah sampai ia melahirkan anak yang
dikandungnya bukan dihitung dengan masa haidnya. Allah ta`ala berfirman
:
“Wanita-wanita yang hamil masa iddahnya adalah sampai mereka melahirkan anak yang dikandungnya“. (Ath Thalaq: 4)
Ketiga,
apabila talak dijatuhkan dengan permintaan istri dengan cara ia menebus
dirinya dengan mengembalikan sesuatu yang pernah diberikan suaminya
atau diistilahkan khulu`.
Hal
ini dipahami dari hadits Ibnu Abbas radliallahu’anhuma dalam shahih
Bukhari (no. 5273, 5374, 5275, 5276). Disebutkan bahwasanya istri Tsabit
bin Qais bin Syamas datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam
lalu menyatakan keinginannya untuk berpisah dengan suaminya. Maka Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wasallam menyuruhnya untuk mengembalikan kebun yang
pernah diberikan kepadanya dan memerintahkan Tsabit untuk menerima
pengembalian tersebut dan menceraikan istrinya. Dalam hadits ini Nabi
sama sekali tidak menanyakan kepada wanita tersebut apakah ia dalam
keadaan haid atau tidak.
Masa iddah wanita yang bercerai dari suaminya
Perhitungan
masa iddah wanita yang bercerai dari suaminya dalam keadaan ia tidak
hamil adalah dengan tiga kali haid, berdasarkan firman Allah ta`ala :
“Wanita-wanita yang ditalak suaminya hendaklah menahan diri mereka (menunggu) selama tiga quru…” ( Al Baqarah: 228)
Mandi Haid
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy radliallahu’anha :
“Tinggalkanlah shalat sekadar hari-hari yang engkau biasa haid padanya, dan jika telah selesai haidmu mandilah dan shalatlah“. (HR. Bukhari no. 325)
Yang
wajib ketika mandi ini adalah minimal meratakan air ke seluruh tubuh
hingga pokok rambut. Dan yang utama melakukan mandi sebagaimana yang
disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam ketika beliau
ditanya oleh seorang wanita Anshar tentang tata cara mandi haid. Beliau
sebagaimana dikabarkan Aisyah bersabda :
“Ambillah
secarik kain yang diberi misik (wewangian) lalu bersucilah dengannya”.
Wanita itu bertanya: “Bagaimana cara aku bersuci dengannya ?” Nabi
menjawab : “Bersucilah dengannya”. Wanita itu mengulangi lagi
pertanyaannya. Nabi menjawab: “Subhanallah, bersucilah”. Aisyah berkata:
Maka aku menarik wanita tersebut ke dekatku lalu aku katakan kepadanya:
“Ikutilah bekas darah dengan kain tersebut“. (HR. Bukhari no. 314, 315 dan Muslim no. 60)
Atau
lebih lengkapnya dalam riwayat Muslim (no. 61) bahwasanya Asma bintu
Syakl bertanya tentang tata cara mandi haid maka beliau Shallallahu
‘alaihi Wasallam bersabda:
“Salah
seorang dari kalian mengambil air dan daun sidr (bidara) lalu ia
bersuci dan membaguskan bersucinya. Kemudian ia tuangkan air ke
kepalanya dan ia gosok dengan kuat hingga air tersebut sampai ke
akar-akar rambutnya, kemudian ia tuangkan air ke atasnya. Kemudian ia
ambil secarik kain yang diberi misik lalu ia bersuci dengannya…”. (HR. Muslim no. 61)
Apabila
wanita haid telah suci dari haidnya di tengah waktu shalat yang ada,
wajib baginya untuk segera mandi agar ia dapat menunaikan shalat
tersebut pada waktunya. Apabila ia sedang safar dan tidak ada air
padanya atau ada air namun ia khawatir bahaya bila memakainya atau ia
sakit yang akan berbahaya bila ia memakai air, maka cukup baginya
bertayammum sebagai pengganti mandi hingga hilang darinya udzur. Wallahu
a`lam bishawwab. Demikian pembahasan haid secara ringkas yang dapat
kami persembahkan untukmu Muslimah….!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar