Minggu, 22 Desember 2013

KOMENTAR PENDAHULU TENTANG MAKSIAT


(1). Lebih Lembut Dari Rambut?
Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata:"Sesungguhnya kalian mengerjakan perbuatan-perbuatan, yang pada pandangan kalian ia lebih lembut dari rambut, sementara kami dahulu pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menganggapnya termasuk dosa besar yang dapat membinasakan. (HR. Bukhari no. 6127)

Ucapan ini beliau lontarkan kepada generasi setelah beliau yakni tabi’in. Lantas bagaimana dengan zaman kita yang semakin jauh dari mereka? Kiranya, sekecil apa kita menganggap dosa tersebut? Padahal mereka dahulu menganggap hal itu termsuk dosa yang dapat membinasakan?!

(2). Antara Orang Taat Dan Tukang Maksiat
Dalam kitab Shahih al-Bukhari, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Sesungguhnya orang mukmin melihat dosanya seolah-olah ia berada di bawah gunung, ia khawatir gunung itu akan roboh menimpanya. Sedangkan tukang maksiat melihat dosanya seperti seekor lalat yang menempel di hidungnya, ia menyingkirkannya begitu saja dan lalat itu pun terbang (maksudnya ia tidak peduli)."

(3). Kepada Siapa Engkau Bermaksiat?
Imam Ahmad rahimahullah berkata: al-Walid telah bercerita kepada kami, ia berkata: Aku mendengar al-Auza’i berkata: Aku pernah mendengar Bilal bin Sa’id berkata: "Janganlah engkau melihat kecilnya maksiat itu, namun cermatilah kepada siapa engkau bermaksiat?!

(4). Pengaruh Maksiat Bagi Orang Lain
Sebagian generasi salaf berkata: "Sungguh, ketika bermaksiat kepada Allah, aku mengetahui dampak buruknya ada pada perilaku istriku dan hewan tungganganku."

Istri yang tidak taat, anak-anak yang tidak berbakti, hewan tunggangan yang sulit diatur, atau kendaraan yang sering bermasalah, bisa jadi dikarenakan perbuatan dosa yang kita lakukan. Maka itu, hendaknya kita introspeksi diri sebelum tergesa-gesa menyalahkan orang lain. Tegurlah diri anda sebelum menegur mereka.

(5). Dosa Takkan Terlupakan
Imam Ahmad rahimahullah menyebutkan sebuat riwayat dari Abu Darda radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Beribadahlah kepada Allah seolah-olah kalian melihat-Nya, anggaplah jiwa kalian seolah-olah telah meninggal dunia, ketahuilah sesungguhnya yang sedikit namun mencukupi lebih baik daripada banyak tapi dapat melupakan, ketahuilah sesungguhnya kebajikan itu tidak akan lusuh DAN PERBUATAN DOSA TIDAK AKAN DILUPA."
Hanya kepada Allah semata kita banyak bertaubat dan beristighfar.

BAHAYA RIYA’

Riya’ sangat berbahaya bagi seorang muslim dan bagi amal perbuatan yang ia kerjakan. Berikut di antara bahaya riya’: 
1). Merupakan sifat orang-orang munafik. (QS. an-Nisa’: 142) 2). Termasuk dosa besar.  3). Dapat menghapuskan amalan yang dikerjakan seseorang.  4). Menyebabkan datangnya murka Allah kepada pelaku riya’.  5). Mengubah amal saleh menjadi amal buruk, seharusnya pelakunya mendapatkan pahala dari amalannya, namun sebaliknya ia malah mendapat dosa karena riya’-nya.
6). Dapat menjerumuskan pelakunya ke dalam neraka, bahkan neraka pertama kali akan dipanaskan bagi para pelaku riya’. (HR. Muslim)
7). Merupakan dosa yang paling ditakuti oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. (HR. Ahmad)
8). Pelakunya akan dipermalukan di hadapan makhluk seluruhnya pada hari kiamat.

Semoga Allah ta'ala melindungi dan menjauhkan kita dari riya'. Allahumma aamiiin.


Abu Hamid Al-Gozzali rahimahullah menyebutkan bahwa seseorang tidak akan bisa terlepas dari riya’ kecuali dengan usaha keras dan perjuangan untuk menaklukkan kuatnya nafsu syahwat. Hal itu bisa digapai dengan dua hal: 

PERTAMA: mencabut akar riya’ dan memotong dari dasarnya, yaitu menyukai nikmatnya pujian, menjauh dari rasa sakit celaan dan tidak tamak terhadap apa yang ada pada manusia. Kesemua ini masuk dalam kategori cinta kedudukan.
Dengan kata lain, menjauhkan diri dari sifat suka dipuji dan cinta kedudukan.

KEDUA: Menyingsingkan lengan baju untuk menolak bisikan riya’ yang datang menyapa dengan segala sebab-sebabnya. Dalam hal ini ada tiga sebab: tahu orang lain melihatnya dan berharap mereka benar-benar melihatnya, bergetarnya keinginan hati untuk dipuji mereka, dan mendapatkan kedudukan di sisi mereka.
Dengan kata lain, menjauhkan diri dari segala sebab yang dapat mendatangkan riya’.

Selain dua cara yang ditawarkan Abu Hamid al-Ghozzali rahimahullah di atas, ulama lainnya menjelaskan cara lainnya yakni membiasakan diri menyembunyikan berbagai macam ibadah, sehingga hati ini benar-benar puas dengan wajah Allah dan tidak mencari wajah-wajah selain Allah. Meskipun pada mulanya ia merasa kesulitan namun selanjutnya insya Allah ia akan merasa ringan dalam melakukannya dengan pertolongan dan kemudahan dari Allah subhanahu wa ta'ala.

Abu Hamid al-Ghozzali rahimahullah menyebutkan lima macam riya’. Begitu mengerikan, karena diri kita hampir tidak selamat darinya. Kita memohon kepada Allah agar dihindarkan dari riya’ dengan berbagai macam bentuknya. 

PERTAMA: Riya’ dengan anggota badan. 
Seperti menampakkan kekurusan badan dan muka pucat agar dikira begitu bersemangat beribadah, begitu besar kekhawatirannya terhadap agama dan sangat takut kepada akhirat.

KEDUA: Riya’ dengan pakaian.
Seperti membiarkan rambut acak-acakan, membuat-buat bekas sujud di wajah, mengenakan pakaian tebal, tidak membersihkan baju dan membiarkannya rusak atau berlubang. Semua itu ia lakukan untuk menunjukkan bahwa dirinya mengikuti sunah.

KETIGA: Riya’ dengan ucapan.
Hal ini terjadi pada diri orang-orang yang suka memberi nasihat, peringatan, menyampaikan hikmah, riwayat dan atsar, ketika disampaikan dengan niat untuk menampakkan derasnya ilmu yang ia miliki. Bisa juga dengan menyibukkan diri dengan berzikir, amar makruf dan nahi munkar di hadapan manusia (dengan niat agar dilihat orang lain).

KEEMPAT: Riya’ dengan amalan.
Seperti riya’-nya orang yang salat dengan memanjangkan berdiri, ruku’, sujud dan lain-lain (dengan niat dipuji orang lain).

KELIMA: Riya’ dengan teman dan tamu.
Seperti meminta kepada seorang ulama untuk berkunjung ke rumahnya agar dikatakan bahwa Syaikh fulan telah mengunjunginya.

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan.
 

SERBA-SERBI SEPUTAR HASAD

1. Setiap orang tidak selamat dari hasad
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Hasad adalah salah satu penyakit hati, dan hasad adalah penyakit yang dominan, maka tidak ada yang selamat darinya kecuali sedikit dari manusia. Oleh karena itu dikatakan: Tidak ada jasad yang kosong dari hasad, hanya saja orang yang buruk hatinya akan menampakkannya sedangkan orang yang mulia/baik hatinya akan menyembunyikannya." (Majmu' al-Fatawa, jilid 10)

2. Hasad dosa pertama yang dengannya Allah dimaksiati di langit dan dibumi
Al-Qurthubi rahimahullah berkata dalam kitab tafsirnya: "Hasad merupakan dosa pertama Allah didurhakai di langit dan dosa pertama Allah didurhakai di bumi, (di langit) Iblis hasad kepada Adam dan (di bumi) Qobil hasad kepada Habil."
Penamaan Qabil dan Habil yang benar bukan dari Islam, namun dari riwayat Isroiliyyat. Allahu a’lam.

3. Hasad merupakan kezaliman kepada diri sendiri
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata: "Saya tidak pernah melihat orang yang berbuat zhalim yang meyerupai orang yang terzhalimi dari pada orang yang hasad." (Fathul Qadir)
Maka itu seorang penyair bersenandung:
Katakan kepada orang pendengki bila ia melepas celaan
"Wahai orang yang zalim" namun dia seperti terzalimi

4. Hasad yang diperbolehkan
Tidak semua hasad diharamkan, ternyata ada hasad yang dibolehkan. Hasad jenis ini ulama artikan dengan ghibtoh. Yaitu seseorang ingin menjadi seperti temannya tanpa mengharapkan nikmat orang itu hilang darinya.
Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan: "Tidak ada hasad (ghibtoh) yang teruji kecuali pada dua hal: (kepada) seorang yang Allah berikan harta lalu ia menghabiskannya untuk kebenaran, dan kepada seseorang yang Allah berikan hikmah lalu ia berhukum dengannya (mengamalkannya) dan mengajarkannya." (HR. al-Bukhari, Muslim, dll.)
Hikmah di sini artinya adalah al-Qur`an dan segala hal yang mencegah datangnya kejahilan (ketidaktahuan) dan menjauhkan dari hal buruk. (Fathul Bari oleh Ibnu Hajar dan Syarah Shahih Muslim oleh an-Nawawi)

5. Hadis lemah seputar hasad
Hadis tersebut berbunyi: Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Hati-hatilah kalian dari hasad, karena hasad dapat memakan kebaikan sebagaimana api melahap kayu bakar.” [Misykat al-Mashabih no. 5040, Dha'if at-Targhib no. 1723 & 1726, adh-Dha'ifah no. 1902, Dha'if Sunan Abu Dawud no. 4903]




HASAD DI MATA AL-QURTHUBI

Ucapan al-Qurthubi rahimahullah seputar hasad begitu banyak, berikut di antaranya:
وَقِيْلَ: اَلْحَاسِدُ لاَ يَنَالُ فِي الْمَجَالِسِ إِلاَّ نَدَامَةً، وَلاَ يَنَالُ عِنْدَ الْمَلاَئِكَةِ إِلاَّ لَعْنَةً وَبَغْضَاءَ، وَلاَ يَنَالُ فِي الْخَلْوَةِ إِلاَّ جَزَعاً وَغَمّاً، وَلاَ يَنَالُ فِي الآخِرَةِ إِلاَّ حُزْناً وَاحْتِرَاقاً، وَلاَ يَنَالُ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْداً وَمَقْتاً.
 
Dikatakan: orang hasad ketika di majelis tidak memperoleh apa-apa kecuali penyesalan, di sisi malaikat tidak mendapatkan apa-apa kecuali laknat dan kebencian, ketika menyendiri tidak merasakan melainkan keluh kesah dan kesedihan, di akhirat tidak mendapatkan melainkan kesedihan dan rasa panas, dan tidaklah ia mendapatkan dari Allah kecuali jarak yang semakin jauh dan kebencian.
وَالْحَسَدُ أَوَّلُ ذَنْبٍ عُصِيَ اللَّهُ بِهِ فِي السَّمَاءِ، وَأَوَّلُ ذَنْبٍ عُصِيَ بِهِ فِي الأَرْضِ، فَحَسَدَ إِبْلِيْسُ آدَمَ، وَحَسَدَ قَابِيْلُ هَابِيْلَ.
Hasad merupakan dosa pertama Allah didurhakai di langit dan dosa pertama Allah didurhakai di bumi, (di langit) Iblis hasad kepada Adam dan (di bumi) Qobil hasad kepada Habil.


قَالَ بَعْضُ الْحُكَمَاءِ: بَارَزَ الْحَاسِدُ رَبَّهُ مِنْ خَمْسَةِ أَوْجُهٍ: أَحَدُهَا: أَنَّهُ أَبْغَضَ كُلَّ نِعْمَةٍ ظَهَرَتْ عَلَى غَيْرِهِ. وَثَانِيْهَا: أَنَّهُ سَاخِطٌ لِقِسْمَةِ رَبِّهِ، كَأَنَّهُ يَقُوْلُ: لِمَ قَسَمْتَ هَذِهِ الْقِسْمَةَ؟ وَثَالِثُهَا: أَنَّهُ ضَادَّ فِعْلَ اللهِ، أَيْ إِنَّ فَضْلَ اللهِ يُؤتِيْهِ مَنْ يَشَاءُ، وَهُوَ يَبْخَلُ بِفَضْلِ اللهِ. وَرَابِعُهَا: أَنَّهُ خَذَلَ أَوْلِيَاءَ اللهِ، أَوْ يُرِيْدُ خِذْلاَنَهُمْ وَزَوَالَ النِّعْمَةِ عَنْهُمْ. وَخَامِسُهَا: أَنَّهُ أَعَانَ عَدُوَّهُ إِبْلِيْسَ.
Sebagian orang bijak berkata: Orang hasad menantang Rabb-nya dalam lima hal: pertama: ia membenci setiap kenikmatan yang ada pada selainnya. Kedua: ia membenci pembagian Rabb-nya, seakan-akan ia berkata: “mengapa Engkau membagi seperti ini?” ketiga: ia melawan keputusan Allah, yakni Allah memberikan karunia-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki, tapi ia malah kikir akan karunia Allah. Keempat: ia mencampakkan para wali Allah, ia ingin meninggalkan mereka dan berharap nikmat itu hilang dari mereka. Kelima: ia menolong musuh Allah yakni Iblis (laknatullah ‘alaihi).

Ketika menafsirkan surat al-Falaq beliau menutup tulisannya dengan perkataan:

وَجَعَلَ خَاتِمَةَ ذَلِكَ الْحَسَدَ تَنْبِيْهاً على عِظَمِهِ، وَكَثْرَةِ ضَرَرِهِ، وَالْحَاسِدُ عَدُوُّ نِعْمَةِ اللهِ.
Allah menjadikan penutup surat tersebut berkenaan dengan hasad sebagai peringatan akan dahsyatnya hasad dan begitu berbilang bahayanya. Dan orang yang hasad adalah musuh bagi nikmat Allah.

[al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurthubi rahimahullah]


(1). Saudaraku, apabila Allah memerintahkan Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam untuk berlindung dari hasad, firman-Nya: 
قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ. مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ. وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ. وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِيْ الْعُقَدِ. وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ. [الفلق:1-5]
 
1. Katakanlah: "Aku berlindung kepada Rabb yang menguasai subuh. 2. Dari kejahatan makhluk-Nya. 3. Dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita. 4. Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul. 5. Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki (hasad)." (QS. al-Falaq: 1-5)

(2). Dan apabila Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun melarang kita dari hasad, sabda beliau: “Dan janganlah kalian saling hasad.” (HR. Muslim)

(3). Demikian pula apabila Jibril ‘alaihissalam ketika meruqyah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam –karena disihir Labid bin al-A'shom seorang Yahudi- ia memohon perlindungan dari hasad, Jibril berkata:

بِسْمِ اللهِ أَرْقِيْكَ، مِنْ كُلِّ دَاءٍ يُؤْذِيْكَ، وَمِنْ شَرِّ كُلِّ حَاسِدٍ وَعَيْنٍ، اللَّهُ يَشْفِيْكَ
"Dengan menyebut nama Allah aku meruqyahmu, dari segala penyakit yang mengganggumu, dan dari kejahatan setiap orang yang hasad dan ‘ain, semoga Allah menyembuhkanmu." (HR. Muslim)

(4). Apabila demikian, apakah pantas kita menenggelamkan diri ke dalam panasnya api hasad?! Apakah pantas kita durhaka terhadap perintah Nabi-Nya yang melarang kita dari hasad?! Apakah sudi bila kita termasuk ke dalam orang yang Jibril berlindung darinya, karena adanya hasad?!!

(5). Saudaraku, jauhilah hasad sebagaimana engkau lari dari singa yang siap memangsamu. Semoga Allah memudahkan usahamu. Aamiiiin...


1). Contoh nyata dari ulama abad ke 20 adalah, perselisihan yang terjadi Syaikh al-Albani dengan Syaikh Hamud at-Tuwaijiri rahimahumallah dalam beberapa permasalahan. Satu sama lain saling membantah, setiap orang memiliki pandangan sendiri-sendiri. Suatu ketika Syaikh al-Albani datang ke kota Riyadh, tepatnya pada tahun 1410 H, dan ditemui oleh Syaikh Hamud at-Tuwaijiri pada acara perjamuan makan malam di rumah seorang ulama. lalu Syaikh Hamud mengundang Syaikh al-Albani untuk berkunjung ke rumahnya, Syaikh al-Albani pun memenuhi undangannya. Datanglah Syaikh al-Albani ke rumah Syaikh Hamud, dan ternyata keduanya saling menghormati satu sama lain dan saling mengutamakan saudaranya. Lenyaplah perselisihan dan yang tersisa adalah persaudaraan dan saling sayang. Sekiranya engkau bercerita bahwa Syaikh al-Albani pernah berkunjung ke rumah Syaikh Hamud niscaya cerita ini tidak akan percaya, karena selama ini yang masyhur dari keduanya adalah adanya perselisihan dalam beberapa permasalahan. 
Lebih dari itu, salah satu putra Syaikh Hamud bercerita bahwa di antara hal yang membuat takjub para tamu undangan adalah, bahwa beliau sangat menghormati Syaikh al-Albani, beliau sendiri yang menyuguhkan makanan kepadanya dan lebih mengutamakan tamunya dari pada dirinya sendiri, dan ketika pulang beliau mengantar Syaikh al-Albani sampai depan pintu. Semoga Allah merahmati keduanya.
Alhamdulillah, meski berbeda pendapat mereka tidak hasad.

2). Syaikh Ali al-Halabi hafizhahullah bercerita: “Adapun yang kedua ialah kisah bersama Syaikh kita al-Albani rahimahullah, yakni sikap beliau terhadap Ustadz kami Syaikh Muhammad Nasib ar-Rifa’i rahimahullah, Syaikh al-Albani tidak mau menegur Syaikh Muhammad Nasib beberapa tahun dikarenakan permasalahan keyakinan dalam ranah ijtihad. Meski demikian Syaikh al-Albani sangat tahu bahwa pada waktu itu kami sering mendatangi Syaikh Muhammad Nasib dan menyusun jadwal kajian yang diisi oleh beliau. Kami juga ikut membantu beliau dalam merampungkan beberapa tulisannya, sebagaimana kami pun pernah berkunjung ke rumah beliau dengan beberapa tamu mulia dari sana sini, dst. Namun, demi Allah, tidak pernah kami melihat Syaikh al-Albani suatu hari marah dengan sikap kami tersebut, beliau juga tidak meminta kami untuk merubah sikap tersebut, tidak mengancam atau menguji kami, dan tidak pula mengharuskan kami mengikuti beliau rahimahullah, apalagi sampai tidak tegur sapa dengan kami dan meragukan manhaj salaf kami, serta tidak pula beliau merendahkan kedudukan kami atau memperingatkan umat dari kami (mentahdzir kami).” (Manhaj as-Salaf ash-Shalih, cerita dari Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi)
Alhamdulillah, meski berselisih mereka tidak hasad.

3). Adalah al-'Allamah Syaikh Abdulhay al-Laknawi rahimahullah, salah seorang tokoh ulama besar yang sezaman dengan Syaikh Shiddiq Hasan Khan (ulama India Abad 13 H), ia sering membantah dan mengkritik Syaikh Shiddiq dalam risalah dan kitab yang ditulisnya, baik dengan isyarat maupun secara terang-terangan. Namun, ketika Syaikh mendengar kabar kematian Syaikh al-Laknawi, ia malah mendoakan rahmat untuknya.
as-Sayyid Ali Hasan, putra Syaikh Shiddiq bertutur: “Tatkala berita kematian al-'Allamah Abdulhay bin Abdulhalim al-Laknawi sampai kepada ayahku, Syaikh meletakkan tangannya ke dahi. Sejenak ia menundukkan kepala lalu mengangkatnya kembali dengan air mata berlinang di pipinya. Ia mendoakan kebaikan dan rahmat untuk Syaikh al-Laknawi dan berkata: “Hari ini, matahari ilmu telah tenggelam.” Ia melanjutkan: “Sesungguhnya perselisihan yang terjadi di antara kami hanya sebatas penelitian beberapa permasalahan saja.” Dan Syaikh tidak mau makan pada malam berkabungnya itu.

Allahu Akbar, indahnya agama bila didasari ilmu dan takwa, meskipun mereka saling berselisih, namun mereka tidak saling hasad. Semoga Allah merahmati ulama sunah dan memasukkan kita dan mereka ke dalam surga-Nya. Aamiiin.


Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Keburukan orang yang hasad kepada seseorang dapat ditolak dengan sepuluh hal berikut: 

Pertama: Memohon perlindungan kepada Allah darinya.

Kedua: Bertakwa kepada Allah, menjaga perintah dan larangan-Nya, karena barang siapa yang bertakwa kepada Allah maka Allah akan menjaganya dan tidak membiarkannya kepada selain-Nya. 

Ketiga: Sabar atas gangguan saingannya tersebut, tidak membalasnya dan mengeluhkannya, tidak ada yang ditolong dari orang yang hasad dan saingannya seperti ditolongnya orang yang sabar.

Keempat: Tawakal kepada Allah. Barang siapa yang tawakal kepada Allah maka Allah akan memberikan kecukupan kepadanya. Tawakal merupakan salah satu faktor terkuat yang dapat dipergunakan hamba untuk menolak gangguan makhluk, kezaliman dan permusuhannya.

Kelima: Mengosongkan hati dari mengurusi orang itu dan mengosongkan pikiran darinya. Hendaklah ia niat menghapus dari benaknya setiap kali hasad tersebut muncul. Janganlah ia menoleh dan jangan takut kepadanya. Jangan pula mengisi hatinya dengan memikirkannya.

Keenam: Menghadap kepada Allah dan ikhas kepada-Nya. Menjadikan kecintaannya kepada Allah, ridha kepada-Nya dan kembali kepada-Nya pada tempat di seluruh benak dirinya.

Ketujuh: Memurnikan taubat kepada Allah dari segala dosa.

Kedelapan: Bersedekah dan berbuat baik semampu kita.

Kesembilan: Dan ini termasuk cara tersulit dan terberat bagi diri. Tidaklah seseorang diberi taufik untuk melakukan hal ini kecuali orang yang mendapat keuntungan yang besar, yakni memadamkan api hasad dengan membalasnya dengan kebaikan. Setiap kali kejahatan dan hasad tersebut bertambah, dia akan lebih banyak lagi berbuat baik kepadanya, menasehatinya dan merasa iba kepadanya (karena buruknya hasad

RACUN BAGI PENUNTUT ILMU


(1). HASAD, IRI, DENGKI

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “Para ulama menyimpulkan bahwa tidak ada jiwa yang terbebas dari hasad, namun orang yang mulia berusaha menghilangkannya, sedangkan orang yang buruk akhlak akan menampakkannya.”

Para ulama menyimpulkan bahwa sekedar membenci kenikmatan yang ada pada diri orang lain sudah dinamakan hasad. Apalagi bila mengharapkan kenikmatan tersebut hilang darinya, maka ini lebih parah lagi.

Berikut beberapa tanda orang hasad dan beberapa obat penawarnya.

BEBERAPA TANDA ORANG HASAD:
1. Senang dengan kesalahan teman yang ia hasad kepadanya.
2. Senang apabila temannya itu tidak hadir pada urusan yang sedang ia rebutkan bersama.
3. Senang bila temannya digunjing (dighibahi) oleh orang lain.
4. Menjawab dengan sindiran jika ia ditanya tentang temannya itu.
5. Merasa sesak jika temannya itu yang ditanya atau disuruh berbicara di hadapan dirinya.
6. Mengecilkan ilmu dan kedudukan temannya itu.
7. Berusaha untuk mencari kesalahan ketika temannya berbicara dan mengkritiknya.
8. Tidak menyebutkan keutamaan atau suatu faedah darinya.

OBAT PENAWAR HASAD:
1. Mendoakan kebaikan untuk temannya tanpa sepengetahuannya.
2. Berusaha untuk selalu mencintainya dengan bertanya tentang keadaan diri dan keluarganya.
3. Berkunjung ke rumahnya.
4. Tidak rela bila temannya itu digunjing atau dijelek-jelekkan.
5. Lebih mengutamakan temannya itu dari pada dirinya.
6. Meminta pendapat atau nasihat dari temannya.

Berusahalah untuk menjauhinya, tidak ada kata terlambat untuk menuju kebaikan yang berujung kepada surga Allah ar-Rahman. Semoga Allah memudahkan jalan kita semua. Aamiiin.

[Ma'alim fi Thariq Thalab al-'Ilmi, karya Syaikh Abdul Aziz as-Sadhan, hal. 97-103, dll.]

Mereka tidak hasad

1). Umar bin Khottob dahulu sering menemui Ibnu Abbas untuk menanyakan permasalahan agama, padahal umur antara keduanya bagaikan kakek dan cucu. 

Ini bisa menjadi contoh bagi para orang tua yang melihat pemuda sekarang yang semangat belajar agama, bila ada ilmu yang baru dan sesuai sunnah, janganlah ia berucap: kamu tahu apa tentang agama? kamu itu masih muda kok mau nasihati yang tua !! kamu itu masih bau kencur ! dll.
Ketahuilah, ilmu tak kenal usia, bila anda mengaku kalah dengan yang masih muda dalam ilmu komputer, matematika, kimia, dll., mengapa anda tidak mau mengalah kepada yang lebih muda dalam urusan agama?!

2). Ibnu Abid-Dunya meriwayatkan dalam kitab ash-Shomtu bahwa dua sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, yakni Sa'ad dan Kholid memiliki permasalahan pribadi, suatu ketika ada seorang mencela Kholid di hadapan Sa'ad, namun Sa'ad tidak ridha dengan hal tersebut dan berkata: "Jaga lisanmu, sesungguhnya perselisihan yang terjadi di antara kami bukan dalam hal agama."

Kalau kita sekarang malah berkata: "Terus hina dia, memang dia demikian dan demikian, dia pantas dikata-katai, dst." Allahul musta'an.

3). Al-Akhfasy seorang pakar nahwu menimba ilmu dari Sibawayh ( pakar nahwu juga ) dalam jangka waktu yang lama, padahal al-Akhfasy lebih tua dari pada Sibawayh, namun ia tidak iri dan dengki dengan Sibawayh dan ia rela merendahkan diri untuk mendapatkan ilmu darinya.

[Ma'alim fi Thariq Thalab al-'Ilmi, Syaikh as-Sadhan, 103-108]

Sekali lagi, Mereka Tidak Hasad

1). Imam Ahmad bin Hambal sering berselisih dengan Ishaq bin Rohuyah (Hohaway) rahimahullah dalam beberapa permasalahan, namun hal itu tidak membuat satu sama lain saling hasad dan iri dengki, sebaliknya Imam Ahmad malah memuji dan menyanjung Ishaq. Beliau berkata: "Tidak ada (ulama) yang berhasil sampai Khurasan semisal Ishaq, meski ia berselisih dengan kami dalam beberapa permasalahan, sebab manusia itu akan saling berselisih satu sama lain."

2). Sufyan bin 'Uyainah rahimahullah pernah ditanya suatu permasalahan, dan pada waktu itu ada Ibnu Wahb Syaikh Mesir, namun orang itu tetap bertanya kepada Sufyan. Sufyan paham bahwa ia bersama seorang ulama, maka itu ia sampaikan pertanyaan itu kepada Ibnu Wahb dan berkata: "Beliau ini Syaikh penduduk kota Mesir, beliau memiliki beberapa riwayat dari Ima Malik."

Perhatikanlah, Sufyan tidak cepat-cepat menjawabnya agar tidak diambil alih oleh Ibnu Wahb. Ini menunjukkan penghormatan satu salam lain di antara mereka dan jauhnya mereka dari hasad dan iri dengki.

3). Salamah berkata tentang al-Farro' (pakar nahwu): "Sungguh, aku sangat takjub kepada al-Farro', bagaimana ia memuliakan al-Kisa'i (pakar nahwu), padahal dirinya lebih agung, lebih banyak ilmunya dan lebih tua."

4). Muhammad bin Salaam dan Abu Hafsh rahimahumallah seorang pakar fikih sering berselisih, namun mereka tetap saling mencintai dan bersahabat, perbedaan itu tidak mendorong mereka untuk saling hasad dan iri dengki. adz-Dzahabi rahimahullah bercerita: "Di antara keduanya ada ikatan kasih sayang, persahabatan dan persatuan, padahal madzhab keduanya berbeda."

[Ma'alim fi Thariq Thalab al-'Ilmi, Syaikh as-Sadhan, 106-110]

10 KEBURUKAN DAN BAHAYA HASAD dampak ORANG YANG HASAD

1). Membenci keputusan Allah yang diberikan kepada saudaranya yang ia hasad kepadanya.
2). Melakukan perbuatan melampaui batas kepadanya dan menjauhkan orang lain dari saudaranya tersebut.
3). Hatinya panas membara bak di neraka, merasa sempit sekali meski dunia yang sangat luas.
4). Menyerupai yahudi yang hasad kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
5). Sekuat apapun hasadnya maka tidak bisa mengangkat nikmat yang ada pada saudaranya.
6). Hasad mengurangi kesempurnaan iman.
7). Menyebabkan dirinya tidak mau memohon dan meminta kepada Allah.
8). Meremehkan nikmat Allah yang ada pada dirinya.
9). Hasad akhlak yang sangat buruk.
10). Orang yang dia hasad kepadanya akan memanen pahala dari orang yang hasad pada hari kiamat.

Masih mau menuruti hawa nafsu tuk terus hasad ??!!

[ Kitabul 'Ilmi kry Syaikh Muhamnad bin Sholeh al-Utsaimin, cetakan Dar ats-Tsuroyya, hal. 72-74 ]

(2). TIDAK IKHLAS (RIYA')



Di antara contoh niat yang tidak baik dalam menuntut ilmu yang dapat merusak amal perbuatan adalah riya’. Seperti apakah komentar ulama seputar riya’ dan bagaimana hukumnya? berikut penjelasan ringkasnya.



 DEFINISI

1). al-Jurjani rahimahullah mengatakan: “Riya adalah tidak ikhlas dalam beramal dengan memperhatikan selain Allah dalam mengerjakan amalannya itu.”
2). Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah menuturkan: “Batasan riya’ yang dibenci adalah, dalam beramal seseorang menginginkan selain wajah Allah ta’ala , seperti ia ingin orang lain melihat ibadah dan kesempurnaannya, sehingga ia mendapatkan harta, kedudukan atau sanjungan dari mereka.”
3). Ibnu Hajar al-‘Asqolani rahimahullah mengatakan: “Riya’ artinya menampakkan ibadah dengan tujuan agar orang lain melihatnya sehingga mereka memuji orang yang beribadah tersebut.”
Jadi, apabila seseorang menuntut ilmu karena ingin dilihat oleh orang lain, ingin dipuji oleh saudaranya atau ingin mendapat sanjungan, maka niatnya telah rusak. Semoga Allah menjauhkan riya' dari kita. Aamiiin.

HUKUM RIYA’
1). Adz-Dzahabi rahimahullah memasukkan riya’ ke dalam kitabnya yang berjudul al-Kaba’ir (dosa-dosa besar).
2). Sebagaimana Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah (di dalam kitab az-Zawajir) menyebutkan dosa riya’ pada urutan kedua setelah dosa syirik (menyekutukan Allah dalam beribadah).
Kesimpulannya, riya’ merupakan dosa besar yang wajib dijauhi oleh setiap manusia, baik dalam menuntut ilmu maupun ibadah-ibadah yang lainnya.


Semoga Allah memberi kemudahan kepada kita untuk menjauhi riya’ dalam menuntut ilmu. Aamiiin.




(3). BERMAKSIAT KEPADA ALLAH ta'ala



Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan di dalam kitabnya ad-Daa' wa ad-Dawaa' (Racun dan Penawarnya) bahwa maksiat memiliki dampak buruk yang sangat banyak, tertulis ada 50 dampak buruknya, di antara yang beliau sebutkan adalah: "TERHALANG DARI ILMU, SEBAB ILMU ADALAH CAHAYA YANG ALLAH SEMATKAN DI DALAM HATI, SEDANGKAN KEMAKSIATAN DAPAT MEMADAMKAN CAHAYA TERSEBUT."

Ibnul Qayyim rahimahullah melanjutkan: "Ketika Imam asy-Syafi'i rahimahullah duduk di hadapan Imam Malik (gurunya) rahimahullah dan membacakan sebuah kitab di hadapannya, maka beliau takjub terhadap kecerdasan dan kejelian Imam asy-Syafi'i serta kesempurnaan pemahamannya. Seketika itu beliau berkata seraya menasihati Imam asy-Syafi'i: "SESUNGGUHNYA AKU MELIHAT BAHWA ALLAH TELAH MENGISI HATIMU DENGAN CAHAYA, MAKA ITU JANGANLAH ENGKAU PADAMKAN IA DENGAN GELAP-GULITANYA KEMAKSIATAN."

Demi Allah, saudaraku, ilmu agama adalah cahaya, ia tidak akan dberikan kepada hamba yang durhaka kepada-Nya. Cahaya yang menerangi jalanmu, cahaya yang membimbing langkahmu.

Dengan ilmu engkau dapat membedakan mana yang baik mana yang buruk, mana yang haq mana yang batil, mana yang sunnah mana yang bid'ah. Bahkan, dengan ilmu agama, Allah akan mudahkan bagimu jalan menuju surga.

Saudaraku, tuntutlah ilmu, jauhilah durhaka kepada Rabb-mu, semoga Allah memberkahi dan memudahkan jalanmu. Aamiiin.




(4). SOMBONG, CONGKAH, ANGKUH



1). Saudaraku, berhati-hatilah dari sifat sombong, sebab Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada seberat biji sawi dari kesombongan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam juga mengatakan seraya menjelaskan arti kesombongan: “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

2). Abu Hamid al-Ghozzali rahimahullah menjelaskan arti kesombongan, “Merasa diri lebih besar dan memiliki kedudukan lebih tinggi dibanding orang lain.”

3). Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah berkata: “Hati-hatilah kalian dari racun yang dimiliki orang-orang yang congkah dan angkuh, yakni sifat sombong, sebab kesombongan dan hasad adalah dosa pertama kali yang dengannya Allah didurhakai.”

Beliau rahimahullah juga berututur: “Hati-hatilah engkau, jangan sampai menjadi Abu Syibr (Abu Sejengkal). Sebab ulama mengatakan bahwa ilmu itu terdiri dari tiga jengkal (tingkatan): Siapa yang masuk ke jengkal pertama maka ia akan sombong, siapa yang masuk ke jengkal kedua maka ia akan rendah hati (tawadu’), dan siapa yang masuk ke jengkal ketiga maka ia akan tahu bahwa dirinya banyak tidak tahu (karena saking banyaknya ilmu yang belum dia ketahui).”

Saudaraku, hendaknya kita rendah diri, janganlah menjadi ABU SEJENGKAL, cukuplah hadis Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam beserta untaian kalimat ulama di atas menjadi nasihat bagi kita untuk menjauhi sifat sombong. Semoga Allah memberikan kemudahan bagi kita untuk menjauhinya. Aamiin.


(5). SU’UNZHON (BURUK SANGKA)

Di antara penyakit hati yang menjangkiti pada penuntut ilmu adalah sifat buruk sangka (su’uzhon), seperti mengatakan, “si fulan berpuasa agar dipuji,” “si fulanah tidak mengaji kecuali biar dipuji suaranya,” dll. Prasangka dan praduga buruk seperti ini diharamkan di dalam Islam.

Ketahuilah, saudaraku, Allah dan Rasul-Nya melarang kita dari sikap buruk sangka kepada sesama muslim. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian kebanyakan purba sangka, sebab sebagian prasangka merupakan perbuatan dosa.” (QS. al-Hujurat: 12)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Hati-hatilah kalian dari prasangka, sesungguhnya prasangka adalah sedusta-dusta cerita.” (HR. Muslim)

Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan perihal hadis di atas: “Maksudnya ialah larangan dari berburuk sangka.”

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menuturkan: “Di antara hal yang sepatutnya seorang penuntut ilmu berhati-hati darinya ialah berburuk sangka  kepada saudaranya, seperti mengatakan, “ia tidak bersedekah kecuali riya’, siswa itu tidak bertanya melainkan karena riya’, supaya orang lain tahu bahwa dia siswa yang paham.”

Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah mengategorikan buruk sangka ke dalam al-kabaa’ir al-baathinah (dosa besar yang terselubung).

Semoga Allah memudahkan kita untuk berlepas diri dari sifat buruk yang satu ini, yaitu buruk sangka kepada saudara sesama muslim. Hanya kepada Allah semata kita memohon pertolongan.

Riya' lebih halus daripada rambatan semut




Ketahuilah bahwa kata riya' itu berasal dari kata ru'yah (melihat), sedangkan sum'ah (reputasi) berasal dari kata sami'a (mendengar). Orang yang riya' menginginkan agar orang-orang bisa melihat apa yang dilakukannya.

Riya' itu ada yang tampak dan ada pula yang tersembunyi. Riya' yang tampak ialah yang dibangkitkan amal dan yang dibawanya. Yang sedikit tersembunyi dari itu adalah riya' yang tidak dibangkitkan amal, tetapi amal yang sebenarnya ditujukan bagi Allah menjadi ringan, seperti orang yang biasa tahajud setiap malam dan merasa berat melakukannya, namun kemudian dia menjadi ringan mengerjakannya tatkala ada tamu di rumahnya.

Yang lebih tersembunyi lagi ialah yang tidak berpengaruh terhadap amal dan tidak membuat pelaksanaannya mudah, tetapi sekalipun begitu riya' itu tetap ada di dalam hati. Hal ini tidak bisa diketahui secara pasti kecuali lewat tanda-tanda.

Tanda yang paling jelas adalah, dia merasa senang jika ada orang yang melihat ketaatannya.

Berapa banyak orang yang ikhlas mengerjakan amal secara ikhlas dan tidak bermaksud riya' dan bahkan membencinya. Dengan begitu amalnya menjadi sempurna. Tapi jika ada orang-orang yang melihat dia merasa senang dan bahkan mendorong semangatnya, maka kesenangan ini dinamakan riya' yang tersembunyi. Andaikan orang-orang tidak melihatnya, maka dia tidak merasa senang. Dari sini bisa diketahui bahwa riya' itu tersembunyi di dalam hati, seperti api yang tersembunyi di dalam batu.

Jika orang-orang melihatnya, maka bisa menimbulkan kesenangannya. Kesenangan ini tidak membawanya kepada hal-hal yang dimakruhkan, tapi ia bergerak dengan gerakan yang sangat halus, lalu membangkitkannya untuk menampakkan amalnya, secara tidak langsung maupun secara langsung.

Kesenangan atau riya' ini sangat tersembunyi, hampir tidak mendorongnya untuk mengatakannya, tapi cukup dengan sifat-sifat tertentu, seperti muka pucat, badan kurus, suara parau, bibir kuyu, bekas lelehan air mata dan kurang tidur, yang menunjukkan bahwa dia banyak shalat malam.

Yang lebih tersembunyi lagi ialah menyembunyikan sesuatu tanpa menginginkan untuk diketahui orang lain, tetapi jika bertemu dengan orang-orang, maka dia merasa suka merekalah yang lebih dahulu mengucapkan salam, menerima kedatangannya dengan muka berseri dan rasa hormat, langsung memenuhi segala kebutuhannya, menyuruhnya duduk dan memberinya tempat. Jika mereka tidak berbuat seperti itu, maka ada yang terasa mengganjal di dalam hati.

Orang-orang yang ikhlas senantiasa merasa takut terhadap riya' yang tersembunyi, yaitu yang berusaha mengecoh orang-orang dengan amalnya yang shalih, menjaga apa yang disembunyikannya dengan cara yang lebih ketat daripada orang-orang yang menyembunyikan perbuatan kejinya. Semua itu mereka lakukan karena mengharap agar diberi pahala oleh Allah pada Hari Kiamat.

Noda-noda riya' yang tersembunyi banyak sekali ragamnya, hampir tidak terhitung jumlahnya. Selagi seseorang menyadari darinya yang terbagi antara memperlihatkan ibadahnya kepada orang-orang dan antara tidak memperlihatkannya, maka di sini sudah ada benih-benih riya'. Tapi tidak setiap noda itu menggugurkan pahala dan merusak amal. Masalah ini harus dirinci lagi secara detail.

Telah disebutkan dalam riwayat Muslim, dari hadits Abu Dzarr Radliyallahu Anhu, dia berkata, "Ada orang yang bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat engkau tentang orang yang mengerjakan suatu amal dari kebaikan dan orang-orang memujinya?" Beliau menjawab, "Itu merupakan kabar gembira bagi orang Mukmin yang diberikan lebih dahulu di dunia."

Namun jika dia ta'ajub agar orang-orang tahu kebaikannya dan memuliakannya, berarti ini adalah riya'.

(Penulis : Al-Imam Asy-syeikh Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah Al-Maqdisy, "Muhtashor Minhajul Qoshidin, Edisi Indonesia: Minhajul Qashidhin Jalan Orang-orang yang Mendapat Petunjuk", Pustaka al-Kautsar, Jakarta Timur, 1997, hal. 271-286.)